UEFA Pengecut Bikin Tim Seperti Girondins Bordeaux Bangkrut
4 min read
UEFA Pengecut Bikin Tim Seperti Girondins Bordeaux Bangkrut – Saya dapat hidup tanpa duit, tetapi tidak dapat hidup tanpa cinta,” kata aktris sekalian penyanyi Judy Garland. Klub tidak dapat hidup cuma dengan cinta dari penggemarnya, tetapi pula memerlukan duit.
Girondins Bordeaux , klub legendaris di Prancis terpaksa bangkrut karena tidak mempunyai dana. Tidak cuma kehabisan dana, tetapi pula para pemainnya.
Suatu yang agak susah dipahami. Di dini masa, Les Girondins sesungguhnya sukses merekrut pelatih yang gemilang di Timnas Swiss, Vladimir Petkovic. Cuma saja, alih- alih berujung senang, rencana Bordeaux di tangan Petkovic berakhir bencana.
Perihal seperti itu yang membuat jabatan Petkovic dicopot. Tetapi, mencopot Petkovic tidak lalu mensterilkan air yang telah keruh. Kondisi terlanjur kacau di badan Bordeaux. Di akhir masa, Bordeaux tidak mampu menjauhi jurang degradasi. Les Girondins cuma mengumpulkan 31 poin. Mereka kalah dalam 19 laga. Lebih lengkap soal betapa kacaunya Bordeaux dikala itu, kalian dapat menyaksikan video Starting Eleven Story lebih dahulu.
Keuangan jadi salah satu permasalahan dalam klub. Serta seperti itu yang mendesak Les Girondins ke gua hitam tanpa penerangan. Tetapi, saat sebelum mengenai permasalahan keuangan serta kesimpulannya degradasi, Bordeaux telah dikelola ugal- ugalan. Jika dilacak, perihal itu mungkin besar diawali pada tahun 2018.
Waktu itu, Bordeaux kehadiran investor dari industri General American Capital Partners kepunyaan Joseph DaGrosa junior. mulanya sesumbar akan menggelontorkan dana 80 juta euro dan mengembalikan Bordeaux ke Liga Champions.
Josep DaGrosa cuma menggelontor 9 juta euro( Rp156 miliyar) saja. Jauh sekali dari janjinya. Para pendukung pasti saja keluhan, serta kesimpulannya membuat kepemilikan General American Capital Partners yang baru seumur jagung gagal. Sehabis industri itu menarik diri, tidak berapa lama Covid- 19 menyerang. Pandemi menghantam seluruh lini, serta Bordeaux salah satu korbannya.
Bordeaux yang telah bonyok kian babak belur. Terlebih pandemi membuat pemirsa menurun. Di lain tempat, Liga Prancis pula terkapar sebab Mediapro, industri multimedia asal Spanyol mencabut konvensi hak siar di Ligue 1. Liga Prancis juga terpaksa kehabisan 780 juta euro( Rp13, 5 triliun) dari situ.
Tetapi merambah sesi administrasi pada April 2021, usai pandemi menyerang, King Street menarik diri. Kepemilikan setelah itu bergeser ke pengusaha Spanyol- Luksemburg, Gerard Lopez. Nah, degradasi yang dikisahkan di dini terjalin di tangan Gerard Lopez.
Direction Nationale du Contrôle de Gestion ataupun DNCG, tubuh yang bertanggung jawab mengawasi finansial klub- klub Prancis menghukum Bordeaux ke Championnat National ataupun liga kasta keempat ataupun liga pemula. Les Girondins pernah mengajukan banding, tetapi degradasi serta kebangkrutan susah dihindari sebab permasalahan keuangan memeluk mereka.
Permasalahan keuangan ini diprediksi mencuat sebab Gerard Lopez, tidak hanya mengakuisisi Bordeaux pula membeli klub Liga Portugal, Boavista. Jadi, si owner tidak hanya mengelola Bordeaux yang lagi krisis, pula mengurus Boavista. Mengelola lebih dari satu klub bukanlah mudah, terlebih salah satunya bermasalah. Gerard Lopez tidak kuasa membuat timnya itu nyaman dari segi finansial.
Salah satu legenda klub, Bixente Lizarazu sempat mengutarakan kemuakkan pada Lopez. Lizarazu apalagi mendesak supaya Lopez lekas angkat kaki. Kendati Lizarazu tidak menampik kalau itu merupakan konsekuensi dari sistem manajemen berolahraga serta keuangan yang kurang baik sepanjang bertahun- tahun.
Bila dilihat dari Lopez yang mempunyai 2 klub sekalian, ini berarti berkaitan dengan sistem multi club ownership, yang mana satu orang dapat mempunyai lebih dari satu regu.
Tetapi realitas pahitnya, apabila owner itu tidak sanggup mengelola keuangan dapat jadi kacau, semacam apa yang dirasakan Bordeaux. Klub semacam Les Girondins merupakan santapan empuk untuk owner klub yang mau mempraktikkan kepemilikan banyak klub. Tetapi, selayaknya daging empuk, masaknya pula perlu effort yang luar biasa.
Saat sebelum mengajukan diri serta melaporkan bangkrut, Fenway Sports Group sempat menginginkan buat berinvestasi pada Bordeaux. Kemudian menjadikannya kerabat Liverpool.
Sayangnya, sebab konvensi tidak kunjung ketemu, FSG membatalkan rencana itu. Mengutip This Is Anfield, FSG tidak memandang terdapat konvensi yang menguntungkan untuk mereka dengan mengakuisisi Bordeaux.
Timbulnya sistem multi club ownership membuat klub- klub tradisional yang terletak dalam kesusahan keuangan kesimpulannya mulai berpikir buat diambil alih oleh klub luar biasa merupakan salah satunya pemecahan.
Salah satunya harapan tiba dari Fenway Sports Group. Jatuh ke FSG serta jadi kerabat Liverpool terkesan selaku keputusan yang masuk ide. Sementara itu bercermin pada permasalahan Gerard Lopez, perihal semacam itu nyatanya tidak dapat menjauhi klub dari kehancuran.
Sistem multi club ownership dapat jadi cuma hendak menguntungkan untuk konglomerat kelas atas. Paling tidak mereka yang uangnya tidak berseri. Serta pada gilirannya, sistem yang setelah itu dihalalkan oleh UEFA itu cuma hendak jadi ladang keserakahan kalangan elit.
UEFA sangat pengecut dengan membagikan dispensasi kepada klub- klub yang berbagi kepemilikan, semacam Leipzig serta Salzburg, Manchester City serta Girona, ataupun Manchester United serta Nice. UEFA sangat lembek dengan misalnya, mengizinkan 2 regu satu owner silih jual- beli pemain, semacam yang dicoba City serta Girona.
Tidak hanya itu, UEFA sangat gampang mengizinkan 2 regu yang dipunyai satu orang berkompetisi di turnamen yang sama. UEFA hanya mensyaratkan, untuk 2 klub satu owner yang mau bermain di satu kompetisi yang sama, harus mengganti lapisan organisasi klub.
Ketentuan itu pasti saja gampang dipadati. Girona apalagi penuhi ketentuan tersebut cuma dalam waktu sebagian bulan saja. Mereka yang lebih dahulu terancam tidak dapat bermain di Liga Champions masa 2024/ 25 sebab bertepatan dengan Manchester City, kesimpulannya diizinkan berpartisipasi.
Kala suatu regu hadapi krisis keuangan serta diambang kebangkrutan, kemudian mereka berpikir dapat diakusisi owner klub lain, ini memperlihatkan betapa UEFA di dasar kepemimpinan Aleksander Caferin, jadi tubuh yang sama sekali tidak berperan.
Bordeaux yang sempat kandas sebab multi club ownership, tetapi malah berharap ke perihal seragam pada FSG, ini sejatinya jadi pukulan telak untuk UEFA.
Tetapi, ya, ingin gimana lagi? UEFA tidak membantu. FSG tidak sudi berinvestasi. Les Girondins juga dituntut gulung tikar serta kehabisan status handal. Bangkrutnya Bordeaux sangat disayangkan. Terlebih regu ini ialah salah satu regu tersukses di Prancis. 6 gelar Ligue 1, 4 kali juara Piala Prancis, serta 2 kali menjambret Piala Luar biasa Prancis buktinya.
Tidak hanya sempat jadi persinggahan Zinedine Zidane serta Didier Deschamps, Bordeaux pula melahirkan pemain hebat. Christophe Dugarry, Lizarazu, Aurelien Tchouameni, Marouane Chamakh, sampai Jules Kounde merupakan pemain yang memulai kariernya dari mari.